Minggu, 01 Januari 2012

laporan pembuatan abon sapi


PENDAHUALUAN
Latar Belakang
Tingginya tingkat konsumsi produk olahan peternakan merupakan suatu peluang usaha tersendiri untuk dikembangkan. Bergesernya pola konsumsi masyarakat dalam mengkonsumsi produk olahan peternakan, terutama daging, dari mengkonsumsi daging segar menjadi produk olahan siap santap mendorong untuk dikembangkannya teknologi dalam hal pengolahan daging. Banyak cara yang dikembangkan untuk meningkatkan nilai guna dan daya simpan dari dari daging segar seperti diolah menjadi sosis, dendeng dan abon.
Abon merupakan salah satu cara pengolahan daging dengan cara disuwir-suwir dan digoreng. Seiiring dengan berkembangnya teknologi dalam pengolahan daging, daging disuwir-suwir tidak lagi mengunakan tangan tapi menggunakan food prosesor yang lebih efisien dalam hal penggunaan tenaga kerja. Abon adalah olahan daging yang mempunyai cita rasa yang khas karena menggunakan rempah-rempah pilihan sebagai bumbu penyedapnya. Abon dapat memiliki umur simpan yang lama tanpa merubah cita rasa dari abon itu sendiri.  Selain dibuat dari daging sapi dan daging kerbau, abon juga dapat dibuat dari ayam, kambing, domba bahkan dibeberapa tempat abon dibuat dari ikan.
Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui kualitas dan daya suka dari abon yang diolah menggunakan cara tradisional (daging disuwir-suwir mengguanakan tangan) dan dengan cara modern (menggunakan food prosesor untuk mensuwir-suwir daging).
TINJAUAN PUSTAKA
Abon Sapi
Abon adalah makanan yang terbuat dari daging yang disuwir atau telah dipisahkan seratnya, kemudian ditambah bumbu dan digoreng. Daging sapi dan daging kerbau adalah daging yang umum digunakan dalam pembuatan abon. Menurut Sumarsono et al., 2008, penggunaan kantong plastik yang ditutup rapat untuk mengemas abon dapat mempertahankan kualitas selama penyimpanan sehingga  abon dapat disimpan beberapa bulan dalam suhu kamar. Umur simpan abon sapi dapat mencapai lebih dari 60 hari dan memiliki rasa yang khas sehingga disukai konsumen (Perdana, 2009).
Proses pembuatan abon melalui proses penggorengan. Selama proses penggorengan terjadi perubahan-perubahan fisikokimiawi baik pada bahan pangan yang digoreng maupun minyak gorengnya. Suhu penggorengan yang lebih tinggi dari pada suhu normal (168-1960C) maka akan menyebabkan degradasi minyak goreng yang berlangsung dengan cepat (antara lain penurunan titik asap). Proses penggorengan pada suhu tinggi dapat mempercepat proses oksidasi. Lemak pada daging dan pada abon sapi dapat menyebabkan terjadinya oksidasi. Hasil pemecahan ikatan rangkap dari asam lemak tidak jenuh adalah asam lemak bebas yang merupakan sumber bau tengik. Adanya antioksidan dalam lemak seperti vitamin E (tokoferol) dapat mengurangi kecepatan proses oksidasi lemak, tetapi dengan adanya prooksidan seperti logam-logam berat (tembaga, besi, kobalt dan mangan) serta logam porfirin seperti pada mioglobin, klorofil, dan enzim lipoksidasi lemak akan dipercepat (Nazieb, 2009).
Bawang Merah
Bawang merah (Allium ceva var. ascalonicum) berfungsi sebagai aroma pada makanan. Senyawa yang menimbulkan aroma pada bawang merah adalah senyawa sulfur yang akan menimbulkan bau jika sel bawang merah mengalami kerusakan (Purnomo, 1997). Bawang merah menurut SNI 01-3159-1992 merupakan umbi lapis yang terdiri dari siung-siung bernas, utuh, segar dan bersih. Bawang merah berfungsi sebagai obat tradisional, karenan mengandung efek antiseptik dari senyawa alliin atau alisin yang akan diubah menjadi asam piruvat, ammonia dan allisin anti mikroba yang bersifat bakterisidia.
Garam
Fungsi garam dalam produk olahan daging adalah sebagai cita rasa, penghambat pertumbuhan mikroorganisme, menigkatkan daya mengikat air selama proses pemasakan, dan dapat mengurangi denaturasi mioglobin pada penambahan 2 g/100 g daging. Garam berfungsi untuk meningkatkan daya simpan, karena dapat menghambat pertumbuhan organism pembusuk. Penambahan garam pada produk kering sebaiknya tidak kurang dari 2%, karena konsentrasi garam yang kurang dari 1,8% akan menyebabkan rendahnya protein yang terlarut (Usmiati dan Priyanti, 2008). Poulanne et al.. (2001) menyatakan bahwa, pemberian garam dapat menjaga keamanan pangan secara mikrobiologi, selain itu garam merupakan bahan penting dalam pengolahan daging, memiliki kontribusi dalam daya ikat air, warna, ikatan lemak dan rasa.
Penambahan garam dapat meningkatkan ion-ion tembaga, mangan dan besi. Ion-ion tersebut berfungsi sebagai katalis dalam reaksi ketengikan. Senyawa-senyawa ketengikan yang terbentuk akan bereaksi dengan asam amino. Reaksi antara ketengikan dan asam amino disebabkan karena adanya ion-ion logam dalam Kristal garam yang dapat membentuk pirazin yang membentuk reaksi lanjutan antara asam amino tertentu dengan ketengikan.
Gula Merah
Fungsi gula dalam pembuatan abon adalah sebagai penambah cita rasa serta salah satu komponen pembentuk warna  coklat yang diinginkan pada hasil akhir produk abon sapi (Sianturi, 2000). Kandungan gula yang tinggi dapat berperan sebagai penghambat proses oksidasi dan ketengikan, salain itu penambahan gula kedalam bahan pangan dalam konsentrasi yang tinggi akan menurunkan kadar air yang tersedia untuk pertumbuhan miroorganosme dan aktivitas air (aw) dari bahan pangan (Winarno, 1994).
Ketumbar
Ketumbar (Coriandrum sativum linn) banyak digunakan untuk bumbu masak, dalam penggunaan ketumbar dilakukan penggerusan terlebih dahulu. Ketumbar dapat menimbulkan bau sedap dan rasa gurih, komponen lain dari ketumbar adalah 26% lemak, 17% protein, 10% pati, dan 20% gula (Purnomo, 1997).
Lengkuas
Lengkuas mengandung minyak atsiri , senyawa flavonoid, fenol dan trepenoid. Rimpang lengkuas mengandung zat-zat yang dapat menghambat enzim santin oksidase sehingga bersifat antitumor. Minyak atsiri ringpang lengkuas yang mengandung senyawa flavonoid, berfungsi sebagai antioksidan pada proses pembuatan makanan kering. Minyak atsiri pada rimpang lengkuas  dengan konsentrasi 100 ppm dan 1000 ppm aktif menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dengan diameter hambatan sebesar 7 mm dan 9 mm, sedangkan terhadap bakteri S. aureus hanya mampu menghambat pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 1000 sebesar 7 mm.
MATERI DAN METODA
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan untuk membuat abon sapi diantaranya pisau, garpu, food prosesor, ulekan, nampan, panci, kompor, penggorengan, alat pemeras minyak, parutan, timbangan.
Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat abon sapi antara lain daging sapi 1 kg, santan 500 ml, gula merah 150 gram, serai 6 batang, ketumbar 10 gram, bawang putih 30 gram, bawang merah 20 gram, merica 8 gram, lengkuas parut 15 gram, daun salam 10 lembar, asam jawa 10 gram dan garam sebanyak 20 gram.
Cara Kerja
Daging direbus dengan menambahkan serai, daun salam dan garam sampai daging menjadi lunak dan mudah diremahkan. Untuk masing-masing metode pembuatan, menggunakan setengah dari berat daging yang sudah direbus. Setelah daging dingin selanjutnya daging diremahkan atau disuwir-suwir menggunakan tangan atau dengan menggunakan garpu untuk metode tradisional dan menggunakan food prosesor untuk metode modern. Haluskan semua bumbu, selanjutnya daging yang sudah disuwir-suwir ditambahkan bumbu, santan dan air kemudian dimasak sampai adonan menjadi seperti bubur. Setelah agar kering, adonan kemudian digoreng sampai berwarna kecoklatan. Untuk menghilangkan minyak, abon yang sudah digoreng diperas untuk menghilangkan minyak sisa penggorengan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 1. Uji hedonik abon sapi
Sampel
Warna
Rasa
Tekstur
penampakan umum
abon tradisional
3,7
3,9
3,6
3,6
abon modern
3,4
3,4
3,5
3,5
Keterangan : 1. Sangat tidak suka
2.  Tidak suka
3.  Netral
4.  Suka
5.  Sangat suka
Tabel 2. Uji mutu hedonik abon sapi
Sampel
Rasa
tekstur
abon tradisional
3,4
2,9
abon modern
3,1
3,7
Keterangan : 1. Sangat manis/kasar
2. Manis/kasar
3. Agak manis/kasar
4. Tidak manis/kasar
5. Sangat tidak manis/kasar
Pembahasan
Berdasarkan dari hasil uji hedonik pada keudua buah jenis abon, ternyata abon yang dibuat dengan metode modern ternyata lebih disukai dari pada abon yang dibuat dengan metode modern. Tekstur abon tradisional yang cendrung lebih kasar dari pada abon modern ternyata lebih disukai. Hal ini dimungkinkan karena penggunaan food prosesor yang membuat serat dari daging terpisah seluruhnya. Warna abon sendiri lebih banyak dipengaruhi oleh seberapa banyak penggunaan gula dan lama penggorengan abon itu sendiri. Umumnya abon yang baik dicirikan dengan warna coklat kekuningan, sehingga abon yang berwarna selain itu kurang disukai.
Kecendrungan rasa abon yang lebih disukai adalah rasa manis yang terjadi akibat penambahan gula pada proses pemasakan. Karena bumbu yang digunakan sama, maka berdasarkan uji hedonik dan uji mutu hedonil tidak terlalu berbeda hasilnya. Penggunaan rempah-rempah dalam pembuatan abon dapat menigkatkan citarasa dari abon yang dibuat. Abon tradisional memiliki nilai yang lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan abon modern, hal ini mungkin disebabkan karena pada waktu pemasakan lebih banyak air yang ditambahkan untuk abon modern dari pada abon tradisional. Secara kenampakan umum, baik abon yang diproses secara modern ataupun secara tradisional bisa diterima oleh masyarakat. Hal ini dicerminkan dengan nilai yang diperoleh dari kedua buah jenis abon yang tidak terlalu signifikan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan pada abon yang dibuat secara tradisional dan modern dapat disimpulkan bahwa secara uji hedonik dan mutu hedonik abon yang dibuat secara tradisional memilki kecendrungan lebih disukai dibandingkan abon yang dibuat secara modern. Untuk pengusahaan pembuataan abon dalam skala besar perlu dipertimbangkan lagi penggunaan metode tradisional terkait dengan efektivitas penggunaan tenaga kerja dan biaya produksi
DAFTAR PUSTAKA
Sumarsono, J, dan H.A Sirajudin. 2008. Penentuan lama sentrifuge minyak abon daging sapi. Makalah Penunjang Seminar Nasional. Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Mataram.
Nazieb, A. 2009. Food Science and Technology. Universitas Negeri Surakartra, Surakarta.
Perdana, A. 2009. Proses Pembuatan Abon Sapi. http://perdanaangga.wordpress.com/2009/06/04proses-pembutan-abon-dan-nugget/ [10 November 2010].
Poulane, E. J., M.H. Rusunen and J. I. Vainionpaa.2001. Combined effects of NaCl and raw meat pH on water-holding in cooked sausage with and without added phosphate. Jurnal of Meat Science 58: 1-7.
Purnomo. 1997. Studi tentang stabilitas protein daging kering dan dendeng selam penyimpanan. Laporan Penelitian. Fakultas peternakan. Universitas Brawijaya, Malang.
Sianturi, R. 2000. Kandungan gizi dan palatabilitas abon daging sapi dengan kacang tanah (Arachis hypogeal linn) sebagai bahan pencampur. Skripsi. Fakultas Peternakan.Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Usmiati , S, dan A. priyanti. 2008. Sifat fisikokimia dan palatabilitas bakso daging kerbau. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.
Waturaka, F.Y. 2002. Komposisi kimia dan daya terima abon dari daging sapid an ayam petelur afkir pada cara pemasakan berbeda. Skripsi. FakultasPeternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Winarno, F.G. 1994. Kimia Pangan dan Gizi. P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar